Kamis, 15 Agustus 2013

Budaya Politik Di Negara Maju (Singapura)


Budaya politik di Singapura telah mengalami berbagai pengaruh dari luar terutama pengaruh ketika  dijajah oleh kolonial Inggris, sehingga perkembangan sistem politik di Singapura lebih signifikan dan telah mengalami kemajuan daripada Negara lain.
Konstitusi Singapura berdasarkan sistem Westminster karana Singapura merupakan bekas jajahan Inggris. Posisi presiden adalah simbolis dan kekuasaan pemerintahan berada di tangan perdana menteri yang merupakan ketua partai politik yang memiliki kedudukan mayoritas di parlemen. Urutan Presiden Singapura adalah: Yusof bin Ishak, Benjamin Henry Sheares, C.V. Devan Nair, Wee Kim Wee, Ong Teng Cheong, dan yang sekarang menjabat adalah S. R. Nathan.
Arena politik dikuasai oleh Partai Aksi Rakyat (PAP) yang telah memerintah sejak Singapura merdeka. Pemerintah PAP sering dikatakan memperkenalkan undang-undang yang tidak memberi kesempatan tumbuhnya penumbuhan partai-partai oposisi yang efektif. Cara pemerintahan PAP dikatakan lebih cenderung kepada otoriter daripada demokrasi yang sebenarnya. Namun, cara pemerintahan tersebut berhasil menjadikan Singapura sebuah negara yang maju, bebas daripada korupsi dan memiliki pasar ekonomi yang terbuka. Para ahli politik menganggap Singapura sebuah negara yang berideologi ‘Demokrasi Sosialis‘.
Meskipun begitu Lee Kwan Yew, pendiri dan perancang sistem politik negara Singapura juga telahmengembangkan konsep yang menempatkan nilai budaya sebagai elemen penting dalam sebuah sistem politik. Menurutnya politik berbasis multibudaya tidak akan pas bagi negara dengan masyarakat yang multirasial seperti Singapura.
Sebagai konsekuensinya, di Singapura ditetapkan sebuah sistem yang oleh dunia Barat
dianggap tidak demokratis. Hal ini menunjukkan bahwa Singapura merupakan “anauthoritarian Confucian anomaly among the wealthy countries of the world” (Huntington, 1991: 302).
Hasil pemikiran para pakar umunya menyimpulkan bahwa budaya memberikan pengaruh tertentu bagaimana demokrasi diadopsi oleh berbagai negara (lihat Alagappa, 1996;
Fukuyama, 1996; Lipset, 1996; Huntington, 1996: Inglehart, 2000). Berkembang pemikiran nilai budaya sebagai faktor determinan yang menentukan suksesnya ekonomi negara-negara Asia Timur. Tetapi sejak terjadinya krisis ekonomi, argumentasi mengenai keunggulan nilai budaya Asia (Asian values) seakan menghilang.
Amartya Sen (2001: 6) mengritik hipotesis Lee Kwan Yew bahwa negara yang didominasi oleh budaya Confucianism mempunyai peluang pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat,
hanyalah berbasis pada perhitungan empiris yang sporadik dari informasi yang terbatas dan sangat selektif.
Kenyataan memang menunjukan negara-negara di Asia dalam membangun sistem demokrasinya lebih banyak mengedepankan gaya demokrasi ala barat seperti Filipina, Korea,Thailand, Taiwan dan sekarang ini Indonesia. Walaupun demikian nilai budaya masih dianggap
sebagai variabel penting dalam pelaksanaan demokrasi. Seperti dinyatakan oleh Inglehart (2000: 96) bahwa dalam jangka panjang, demokrasi tidak hanya didasari pada perubahan institusi atau perilaku elit politik, melainkan keberlangsungannya akan tergantung pada nilai dan kepercayaan dari masyarakat awam di wilayahnya.
Dahl (1997: 34) memperkuat gagasan bahwa konsolidasi demokrasi menuntut budaya demokrasi yang kuat yang memberikan kematangan emosional dan dukungan yang rasional untuk menerapkan prosedur-prosedur demokrasi. Ia melandaskan penekanannya pada pentingnya budaya demokrasi pada asumsi bahwa semua sistem politik termasuk
sistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis, dan budaya demokrasi yang tertanam dengan kuatlah yang akan menolong negara-negara demokrasi melewati krisis tersebut.
Implikasinya proses demokratisasi tanpa budaya demokrasi yang mengakar menjadi rentan dan bahkan hancur ketika menghadapi krisis seperti kemerosotan ekonomi, konflik regional atau konflik sosial, atau krisis politik yang disebabkan oleh korupsi atau kepemimpinan yang terpecah. Sejalan dengan pemikiran Dahl, Huntington (ibid: 258)
memfokuskan pada isu budaya demokrasi dalam hubungan antara kinerja dan efektifitas pemerintah demokratis baru dan legitimasinya, sebagai bentuk kepercayaan publik dan elit politik terhadap sistem nilai demokrasi. Budaya demokratis harus berarti
adanya pemahaman bahwa demokrasi bukanlah panacea. Karena itu, konsolidasi demokrasi terjadi bila masyarakat menyadari bahwa demokrasi merupakan solusi dari masalah tirani tetapi belum tentu untuk masalah lain (ibid: 263).
Huntington memperingatkan bahwa tahun-tahun pertama berjalannya masa kekuasaan
pemerintahan demokratis yang baru, umumnya akan ditandai dengan bagi-bagi kekuasaan di antara koalisi yang menghasilkan transisi demokrasi tersebut, penurunan efektifitas kepemimpinan dalam pemerintahan yang baru sedangkan dalam pelaksanaan demokrasi itu sendiri belum akan mampu menawarkan solusi mendasar terhadap
berbagai permasalahan sosial dan ekonomi di negara yang bersangkutan. Tantangan bagi
konsolidasi demokrasi adalah bagaimana menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan tidak justru hanyut oleh permasalahan-permasalahan itu.


1 komentar:

Unknown mengatakan...

referensinya mana yang uda dicantumin di sitasi???????

Posting Komentar