Budaya politik di Singapura telah mengalami berbagai pengaruh dari luar
terutama pengaruh ketika dijajah oleh kolonial Inggris, sehingga
perkembangan sistem politik di Singapura lebih signifikan
dan telah mengalami kemajuan daripada Negara lain.
Konstitusi Singapura berdasarkan sistem Westminster karana Singapura merupakan bekas jajahan Inggris. Posisi presiden adalah simbolis dan kekuasaan pemerintahan berada di
tangan perdana menteri yang
merupakan ketua partai politik yang memiliki kedudukan mayoritas di parlemen. Urutan Presiden Singapura
adalah: Yusof bin Ishak, Benjamin Henry Sheares,
C.V. Devan Nair, Wee Kim Wee, Ong Teng Cheong, dan yang sekarang menjabat adalah S. R. Nathan.
Arena politik dikuasai oleh Partai Aksi Rakyat
(PAP) yang telah memerintah sejak Singapura merdeka. Pemerintah PAP sering
dikatakan memperkenalkan undang-undang yang tidak memberi kesempatan tumbuhnya
penumbuhan partai-partai oposisi yang efektif. Cara pemerintahan PAP dikatakan
lebih cenderung kepada otoriter daripada demokrasi yang sebenarnya. Namun, cara pemerintahan tersebut
berhasil menjadikan Singapura sebuah negara yang maju, bebas daripada
korupsi dan memiliki pasar ekonomi yang terbuka. Para ahli politik menganggap
Singapura sebuah negara yang berideologi ‘Demokrasi Sosialis‘.
Meskipun begitu Lee Kwan Yew, pendiri dan perancang sistem politik negara
Singapura juga telahmengembangkan konsep yang menempatkan nilai budaya sebagai
elemen penting dalam sebuah sistem politik. Menurutnya politik berbasis
multibudaya tidak akan pas bagi negara dengan masyarakat yang multirasial
seperti Singapura.
Sebagai
konsekuensinya, di Singapura ditetapkan sebuah sistem yang oleh dunia Barat
dianggap tidak demokratis. Hal ini menunjukkan bahwa Singapura merupakan “anauthoritarian Confucian anomaly among the wealthy countries of the world” (Huntington, 1991: 302).
dianggap tidak demokratis. Hal ini menunjukkan bahwa Singapura merupakan “anauthoritarian Confucian anomaly among the wealthy countries of the world” (Huntington, 1991: 302).
Hasil pemikiran para pakar umunya menyimpulkan bahwa budaya memberikan
pengaruh tertentu bagaimana demokrasi diadopsi oleh berbagai negara (lihat
Alagappa, 1996;
Fukuyama, 1996; Lipset, 1996; Huntington, 1996: Inglehart, 2000). Berkembang pemikiran nilai budaya sebagai faktor determinan yang menentukan suksesnya ekonomi negara-negara Asia Timur. Tetapi sejak terjadinya krisis ekonomi, argumentasi mengenai keunggulan nilai budaya Asia (Asian values) seakan menghilang.
Fukuyama, 1996; Lipset, 1996; Huntington, 1996: Inglehart, 2000). Berkembang pemikiran nilai budaya sebagai faktor determinan yang menentukan suksesnya ekonomi negara-negara Asia Timur. Tetapi sejak terjadinya krisis ekonomi, argumentasi mengenai keunggulan nilai budaya Asia (Asian values) seakan menghilang.
Amartya Sen (2001:
6) mengritik hipotesis Lee Kwan Yew bahwa negara yang didominasi oleh budaya
Confucianism mempunyai peluang pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat,
hanyalah berbasis pada perhitungan empiris yang sporadik dari informasi yang terbatas dan sangat selektif.
hanyalah berbasis pada perhitungan empiris yang sporadik dari informasi yang terbatas dan sangat selektif.
Kenyataan memang
menunjukan negara-negara di Asia dalam membangun sistem demokrasinya lebih
banyak mengedepankan gaya demokrasi ala barat seperti Filipina, Korea,Thailand,
Taiwan dan sekarang ini Indonesia. Walaupun demikian nilai budaya masih
dianggap
sebagai variabel penting dalam pelaksanaan demokrasi. Seperti dinyatakan oleh Inglehart (2000: 96) bahwa dalam jangka panjang, demokrasi tidak hanya didasari pada perubahan institusi atau perilaku elit politik, melainkan keberlangsungannya akan tergantung pada nilai dan kepercayaan dari masyarakat awam di wilayahnya.
sebagai variabel penting dalam pelaksanaan demokrasi. Seperti dinyatakan oleh Inglehart (2000: 96) bahwa dalam jangka panjang, demokrasi tidak hanya didasari pada perubahan institusi atau perilaku elit politik, melainkan keberlangsungannya akan tergantung pada nilai dan kepercayaan dari masyarakat awam di wilayahnya.
Dahl (1997: 34)
memperkuat gagasan bahwa konsolidasi demokrasi menuntut budaya demokrasi yang
kuat yang memberikan kematangan emosional dan dukungan yang rasional untuk
menerapkan prosedur-prosedur demokrasi. Ia melandaskan penekanannya pada
pentingnya budaya demokrasi pada asumsi bahwa semua sistem politik termasuk
sistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis, dan budaya demokrasi yang tertanam dengan kuatlah yang akan menolong negara-negara demokrasi melewati krisis tersebut.
sistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis, dan budaya demokrasi yang tertanam dengan kuatlah yang akan menolong negara-negara demokrasi melewati krisis tersebut.
Implikasinya proses demokratisasi tanpa budaya demokrasi yang mengakar
menjadi rentan dan bahkan hancur ketika menghadapi krisis seperti kemerosotan
ekonomi, konflik regional atau konflik sosial, atau krisis politik yang
disebabkan oleh korupsi atau kepemimpinan yang terpecah. Sejalan dengan
pemikiran Dahl, Huntington (ibid: 258)
memfokuskan pada isu budaya demokrasi dalam hubungan antara kinerja dan efektifitas pemerintah demokratis baru dan legitimasinya, sebagai bentuk kepercayaan publik dan elit politik terhadap sistem nilai demokrasi. Budaya demokratis harus berarti
adanya pemahaman bahwa demokrasi bukanlah panacea. Karena itu, konsolidasi demokrasi terjadi bila masyarakat menyadari bahwa demokrasi merupakan solusi dari masalah tirani tetapi belum tentu untuk masalah lain (ibid: 263).
memfokuskan pada isu budaya demokrasi dalam hubungan antara kinerja dan efektifitas pemerintah demokratis baru dan legitimasinya, sebagai bentuk kepercayaan publik dan elit politik terhadap sistem nilai demokrasi. Budaya demokratis harus berarti
adanya pemahaman bahwa demokrasi bukanlah panacea. Karena itu, konsolidasi demokrasi terjadi bila masyarakat menyadari bahwa demokrasi merupakan solusi dari masalah tirani tetapi belum tentu untuk masalah lain (ibid: 263).
Huntington
memperingatkan bahwa tahun-tahun pertama berjalannya masa kekuasaan
pemerintahan demokratis yang baru, umumnya akan ditandai dengan bagi-bagi kekuasaan di antara koalisi yang menghasilkan transisi demokrasi tersebut, penurunan efektifitas kepemimpinan dalam pemerintahan yang baru sedangkan dalam pelaksanaan demokrasi itu sendiri belum akan mampu menawarkan solusi mendasar terhadap
berbagai permasalahan sosial dan ekonomi di negara yang bersangkutan. Tantangan bagi
konsolidasi demokrasi adalah bagaimana menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan tidak justru hanyut oleh permasalahan-permasalahan itu.
pemerintahan demokratis yang baru, umumnya akan ditandai dengan bagi-bagi kekuasaan di antara koalisi yang menghasilkan transisi demokrasi tersebut, penurunan efektifitas kepemimpinan dalam pemerintahan yang baru sedangkan dalam pelaksanaan demokrasi itu sendiri belum akan mampu menawarkan solusi mendasar terhadap
berbagai permasalahan sosial dan ekonomi di negara yang bersangkutan. Tantangan bagi
konsolidasi demokrasi adalah bagaimana menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan tidak justru hanyut oleh permasalahan-permasalahan itu.
1 komentar:
referensinya mana yang uda dicantumin di sitasi???????
Posting Komentar