Korupsi di Indonesia sekarang ini semakin
terbongkar kriminalitasnya, dimana kasus-kasus tersebut seringkali diberitakan
di media massa. Penggemboran berita korupsi pun merajalela sehingga perspektif
masyarakat terhadap kinerja pemerintah buruk dan kurang mempercayai
pengelolaan negara. Dibuktikan dengan kasus korupsi paling rumit di tahun 2010,
Gayus Tambunan seorang pegawai departemen pajak yang hanya bergolongan III A
sudah mempunyai asset sebesar 250 miliar sedangkan rata-rata
penghasilan pegawai pajak departemen golongan III A tidak berpendapatan
sebanyak itu.
Tidak hanya gayus sebagai pamor mafia pajak yang
membuat Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) berkurang, tapi juga kasus
penyelewengan dana yang banyak diberitakan di media massa berdampak pada
jalannya sektor pembangunan negara. Misalnya dari penangkapan kasus korupsi
sekertaris Menpora (Wafid Muharram) yang divonis telah menerima penyuapan,
penyimpangan dana Otonomi khusus provinsi Papua, dan pencekalan tersangka kasus
korupsi Joko Sutrisno dalam pelaksanaan lomba ketrampilan siswa dan pameran SMK
Kementrian pendidikan Nasional yang ditangani KPK(Komisi Pemberantasan
Korupsi). Padahal, korupsi dapat mengurangi nilai manfaat suatu pembangunan
dan memperlambat perkembangan negara ke arah yang lebih maju.
Menurut pandangan hukum yang berlaku, definisi
korupsi sendiri berarti perbuatan setiap orang baik pemerintahan maupun swasta
yang melanggar hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara(UU No.31 Tahun 1999
jo. UU No.20 Tahun 2001). Dalam 13 buah Pasal UU no.31 tahun 1999 yang
telah diubah dengan UU no.20 tahun 2001 tentang pemberantasan tipikor, korupsi
dirumuskan dalam bentuk tipikor yang dijelaskan di dalam pasal-pasal tersebut.
Dasar –dasar dari tindak korupsi dikelompokkan menjadi tujuh yaitu : Kerugian
keuangan negara, suap-menyuap,penggelapan dalam jabatan,pemerasan,
perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, gratifikasi.
Bentuk-bentuk lain tertera pada UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001
yang berisi tentang tindakan pidana yang berkaitan dengan tindakan korupsi,
seperti merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi, tidak memberi keterangan
atau memberi keterangan yang tidak benar, bank yang tidak memberikan keterangan
rekening tersangka, saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi
keterangan palsu, orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan
keterangan atau memberikan keterangan palsu, saksi yang membuka identitas
pelapor.
Dilihat dari segi historis, Indonesia mengalami
masa kolonialisme dimana korupsi telah mengakar dari masa kerajaan hingga
sekarang. Hal tersebut membuat pemberantasan korupsi sulit dilaksanakan karena
telah mendarah daging sebagai kepribadian bangsa. Pada masa pra-kolonialisme,
para penguasa lebih otoriter untuk memimpin suatu wilayah kerajaan yang
dikuasainya sehingga rakyat tidak berdaya dalam melawan raja-raja, rakyat hanya
diperintahkan untuk membayar upeti kepada raja-raja. Rakyat pun tidak berani
untuk mengkritik dan melakukan pertentangan karena takut akan menimbulkan
perlawanan dan diperlakukan dengan buruk. Rakyat lebih cenderung kepada sikap
“nrimo” dan cari perhatian kepada para raja untuk mendapatkan sesuatu
yang lebih dari raja-raja. Budaya ini menyebar terutama di wilayah jawa. Budaya
seperti ini memicu adanya akar dari suatu korupsi di negara Indonesia karena
sistem yang diterapkan raja dengan menarik upeti kepada rakyat tidak transparan
dan dapat menimbulkan penyelewengan dana. Akibatnya, rakyat semakin menderita
dan wilayah kerajaan semakin makmur. Perlakuan raja tersebut juga didukung oleh
adanya rakyat yang hanya dapat menerima apa adanya tanpa perlawanan dan
perbaikan untuk raja dan sikap cari perhatian kepada raja untuk membahagiakan
diri sendiri dan keluarga. Perilaku tersebut menyebabkan mental bangsa
Indonesia menjadi malas, dan bergantung kepada orang lain sehingga mengambil
jalan singkat menuju kebahagiaan. Mental tersebut dapat menjadi akar dari
sebuah kata korupsi.
Budaya rakyat dan raja-raja pada masa akhir
kerajaan di Indonesia diamati oleh kolonial yang ingin mengeruk harta
kekayaan alam Indonesia, menyebarkan agama, dan mencari kekuasaan.
Tujuan-tujuan tersebut dikenal dengan sebutan mencari 3G (Gold, Glory, dan
Gospel). Kasus peraturan culture stelseel yang dibuat oleh pihak
Belanda sangat merugikan rakyat, padahal isi dari peraturan tersebut bertujuan
untuk menyejahterkan rakyat, tapi dalam realitanya peraturan tersebut sebagai
wadah untuk melaksanakan tujuan kolonialisme Belanda. Belanda juga membentuk
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur
atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) yang pada akhirnya hancur karena korupsi.
Pegawai VOC banyak yang terlibat korupsi dan kasus tersebut dibuktikan dengan
adanya pegawai tinggi VOC yang memiliki banyak rumah mewah di Indonesia dan di
negri Belanda yang seharusnya tidak dapat dibiayai oleh gaji mereka. Mental
para kolonial sebagai koruptor dapat ditiru oleh bangsa yang dijajah karena
mengalami proses percampuran budaya Indonesia dan Belanda.
Pada Masa Orde Baru, korupsi menjadi suatu
keterselubungan birokrasi pemerintah yang dimanipulasikan dengan kestabilan
ekonomi rakyat. Dibalik kestabilan tersebut,Soeharto menyembunyikan korupsi
politik yang dilakukannya, seperti membelit negara dengan hutang luar negri
dan elit politik yang menikmati kekuasaan Soeharto. Korupsi tersebut pun
dipicu oleh adanya ketidaktransparansi anggaran pemerintah sehingga banyak peluang
untuk melakukan praktik korupsi. Pada era-orde baru juga didukung oleh
pemerintahan yang otoriter dan subversif. Otoritas jabatan Soeharto menjadikan
kuasa politik tanpa batas. Keotoritasan itu pun berdampak kepada praktik
korupsi politik. Perusahaan negara seperti Bulog,Pertamina Departemen Kehutanan
sering dianggap sebagai sarang korupsi sehingga banyak sekali mahasiswa dan
pelajar yang protes tentang permasalahan tersebut. Padahal pada saat itu pun
ada Tim Pemberantasan Korupsi tapi kelompok tersebut menunjukkan
ketidakseriusan dalam memberantas korupsi. Para elit pemerintahan pada masa ini
dapat melakukan praktik korupsi dengan mudah
Pada Masa Era Reformasi, penyakit korupsi
menjangkiti elemen penyelenggara negara. BJ Habibie yang pada awalnya aktif
dalam memberantas korupsi, terlihat dari usahanya dalam mengeluarkan UU No.28
Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Presiden
selanjutnya, Abdurrahmah Wahid nampak perannya dalam pemberantasan korupsi
ketika membuat Tim Gabungan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) dan peran Megawati
ketika membentuk suatu badan yang berdiri hingga sekarang masa pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono yang bernama KPK (Korupsi Pemeberantasan Korupsi).
Namun, dari pembentukan badan dan pembuatan undang-undang tersebut masih saja
belum menyelesaikan permasalahan korupsi. Para elit politik dan
penyelenggara negara masih melakukan praktik politik walaupun media massa
sekarang pun banyak menyoroti pejabat-pejabat yang terkait dengan tindak pidana
korupsi dan ketangkap basah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) namun
pengusutan tersangka korupsi yang melibatkan banyak pihak belum terselesaikan.
Problematika itu dibelit-belit dan tampak seperti permainan politik
pemerintahan. Misalnya dalam menangani kasus Gayus dan Bank Century. Kasus
tersebut ditangani dengan lambat, dan kasus ini pun harus
mengorbankan satu mentri Keuangan, Sri Mulyani. Kasus Gayus juga belum
terselesaikan hingga sekarang dan masih mencari tersangka yang terkait. Akhirnya,citra
presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun jatuh.
Dari sejarah yang dikaji, terlihat bahwa
korupsi sudah menjadi budaya para aparatur negara Indonesia sehingga rakyat
jengah melihat keadaan Indonesia yang semakin miskin karena ketidakmerataan
alokasi dan distribusi SDA, infrastruktur pembangunan kurang memadai dan
kekacauan permasalahan sosial dan politik Indonesia. Dampaknya, rakyat semakin
apatis untuk memperhatikan peranan pemerintah dan pemerintah menjadi asumsi
negatif di mata rakyat. Aparat pemerintah juga menjadi teladan bagi masyarakat
Indonesia dimana korupsi juga menyebar luas di kalangan masyarakat. Masyarakat
juga tidak ingin dibodohi terus-menerus oleh pemerintah sehingga mereka juga
sering melakukan praktik korupsi, baik dalam skala besar maupun kecil. Contoh
kasusnya terlihat pada kasus kecil dimana penilangan polisi dibayar memakai
lembaran dua puluh ribu, daftar pekerjaan atau kuliah dengan menggunakan
amplop, dan perilaku korupsi lainnya yang menimbulkan mental bangsa Indonesia
menjadi mental korupsi dan mengakar menjadi budaya bangsa Indonesia.
Budaya merupakan suatu orientasi nilai-nilai yang
menjadi acuan tindakan-tindakan para aktor politik. Kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah juga dipengaruhi oleh budaya politik pemerintahan. Latar belakang dari
budaya itu sendiri dipengaruhi oleh agama,ras,etnik,adat,bahasa,dan lain
sebagainya. Perbedaan budaya tersebut dapat menyebabkan konflik antar
para elit politik. Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu
sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam
bagiannya dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem
tersebut. Dari definisi diatas, korupsi juga dapat menjadi suatu budaya yang
tertanam di Indonesia karena korupsi mempunyai orientasi yang bertujuan untuk
memperoleh kekayaan dengan cara memperoleh kedudukan dalam pemerintahan.
Budaya tersebut juga tidak menyebar di dalam kalangan elit politik
saja, namun masyarakat Indonesia yang tidak paham dan mengabaikan
pemahaman betapa pentingnya penghilangan praktik korupsi juga turut membantu
jalannya korupsi walaupun kasus dominan yang sering terjadi di masyarakat masih
berskala kecil. Dari praktik kecil korupsi itulah muncul bibit-bibit generasi
para elit politik dengan kejahatan white collar crime.
Indonesia pada tahun 2005, menurut versi transparancy
Internasional menempati urutan ke-36 negara tekorup. IPK tersebut
adalah persepsi korupsi di sektor publik pada 180 negara. Nilai IPK ini
skalanya dari 0 sampai 10. Nol mengindikasikan persepsi terhadap korupsi yang
tinggi. Sedangkan 10 mengindikasikan tingkat korupsi yang rendah. Pada 2006,
IPK Indonesia adalah 2,4. Sedangkan IPK pada 2007 adalah 2,3. Penurunan indeks
tersebut dapat disebabkan oleh masih banyaknya koruptor yang dibebaskan dari
jeratan hukum. Misalnya, pada tahun 2007 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
memvonis bebas Pontjo Sutowo dan Ali Mazi dari dakwaan korupsi perpanjangan hak
guna bangunan Hotel Hilton, putusan Pengadilan Negeri Blora yang memvonis bebas
Supito, terdakwa kasus korupsi pengadaan bantuan gubernur untuk air bersih
senilai Rp 800 juta.Padahal negara tetangga kita, Malaysia, memiliki skor yang
jauh lebih baik dari Indonesia yakni 5,1. Singapura memperoleh skor 9,3 untuk
indeks persepsi korupsi. Pada tahun 2010, Angka Indeks Persepsi Korupsi
Indonesia tahun 2010 tetap 2,8 atau berada di peringkat ke-110 dari 178 negara
yang disurvei. Nilai ini sama persis dengan tahun 2009 sehingga bisa dimaknai
pemberantasan korupsi berada pada titik stagnan. Hal ini disebabkan oleh kurang
berjalannya pemberantasan korupsi disebabkan sistem hukum dan politik di
Indonesia masih korup. Anggota DPR, DPRD, dan pemilu kepala daerah harus
mengeluarkan banyak uang pada saat kampanye pemilu. Praktik money politics
sering terjadi di Indonesia sehingga menimbulkan kekacauan dan masalah
kecurangan dalam pemilu.
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa
korupsi dapat menjadi suatu budaya di Indonesia karena dilihat dari segi
historis, praktik tersebut diterapkan secara turun-temurun dan sulit diberantas
apabila tidak dilakukan dengan kesadaran untuk merubah jati diri bangsa
Indonesia. Perubahan nilai-nilai tersebut harus dimulai dari otak penggerak
negara, yaitu aparat penyelenggara negara. Apabila aparat penyelenggara negara
mempunyai pemikiran menjalankan pemerintahan mendahului kepentingan bangsa dan
negara dibandingkan kepentingan partai politik dan kepentingan individu, maka
stabilitas pembangunan Indonesia yang sedang berkembang, infrastruktur negara
pun masa manfaatnya lebih panjang, dan kesejahteraan sumber daya manusia
tercapai karena alokasi dan distribusi dibagikan secara merata.
Indonesia juga dapat mencontoh negara-negara maju
tentang bagaimana cara pemberantasan korupsi yang tepat untuk mengintegrasikan
pembangunan bangsa Indonesia. Seperti Singapura, Hongkong, Denmark, New
Zealand, dan negara tetangga sendiri yaitu Malaysia. Indonesia dapat melihat
dan mencontoh hongkong yang menjadikan zero tolerance sebagai prinsip
utama dalam pemberantasan korupsi. Karakteristik orang Indonesia yang penuh
toleransi pun mendukung timbulnya bibit-bibit korupsi sehingga penegakan hukum
tidak berjalan secara maksimal. Penegak hukum dan lembaga pemberantas korupsi
harus bersikap tidak toleransi dengan orang yang telah melanggar korupsi, baik itu
korupsi yang dilakukan oleh pegawai rendah atau pejabat besar.
Indonesia yang mempunyai sumber alam dan minyak
tambang yang berlimpah, seharusnya mempunyai sumber daya manusia yang
berkualitas tinggi untuk mengelola SDA yang telah ada. Namun, sebaliknya kemajuan
negara Indonesia telah diambil oleh koruptor yang bermental para pencuri dan
mempunyai integritas rendah. Indriyanto Seno Adji, ahli hukum pidana
Universitas Indonesia, mengatakan bahwa sejak Orde Lama sampai era reformasi,
integritas dan mentalitas suap para pejabat negara tidak berubah. Ketaatan
regulasi dianggap lebih rendah dengan tradisi upeti kepada pejabat negara. Ini
semua yang disebut institusionalized corruption yang merajalela
(Kompas,28/04/2011). Maka dari itu, pemerintah, DPR, dan penegak hukum
seharusnya bersama-sama menerapkan suatu paradigma pemberantasan korupsi.
Paradigma tersebut tidak hanya dalam bentuk prosedural dimana struktur
pemerintah yang hanya melengkapi fungsional personal dalam pemberantasan hukum,
seperti menyediakan penyidik, penuntut, dan pengadilan khusus. Tapi elemen
tersebut seharusnya dilingkupi dengan rasa keadilan, sanksi moral yang kuat,
memperbaiki sistem-sistem pemerintah yang rentan dengan praktik korupsi.
Langkah awal yang harus dijalankan pemerintah dengan dilaksanakannya perubahan
paradigma bangsa dalam pemberantasan korupsi dan perbaikan moral pemerintah
dengan integritas yang tinggi.
0 komentar:
Posting Komentar