Kamis, 15 Agustus 2013

Korupsi Sebagai Budaya Politik Indonesia


Korupsi di Indonesia sekarang ini semakin terbongkar kriminalitasnya, dimana kasus-kasus tersebut seringkali diberitakan di media massa. Penggemboran berita korupsi pun merajalela sehingga perspektif masyarakat terhadap kinerja pemerintah buruk dan kurang mempercayai  pengelolaan negara. Dibuktikan dengan kasus korupsi paling rumit di tahun 2010, Gayus Tambunan seorang pegawai departemen pajak yang hanya bergolongan III A sudah  mempunyai asset sebesar 250 miliar sedangkan rata-rata penghasilan pegawai pajak departemen golongan III A  tidak berpendapatan sebanyak itu.
Tidak hanya gayus sebagai pamor mafia pajak yang membuat Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) berkurang, tapi juga kasus penyelewengan dana yang banyak diberitakan di media massa berdampak pada jalannya sektor pembangunan negara. Misalnya dari penangkapan kasus korupsi sekertaris Menpora (Wafid Muharram) yang divonis telah menerima penyuapan, penyimpangan dana Otonomi khusus provinsi Papua, dan pencekalan tersangka kasus korupsi Joko Sutrisno dalam pelaksanaan lomba ketrampilan siswa dan pameran SMK Kementrian pendidikan Nasional yang ditangani KPK(Komisi Pemberantasan Korupsi). Padahal,  korupsi dapat mengurangi nilai manfaat suatu pembangunan dan memperlambat perkembangan negara ke arah yang lebih maju.
Menurut pandangan hukum yang berlaku, definisi korupsi sendiri berarti perbuatan setiap orang baik pemerintahan maupun swasta yang melanggar hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara(UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001).  Dalam 13 buah Pasal UU no.31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU no.20 tahun 2001 tentang pemberantasan tipikor, korupsi dirumuskan dalam bentuk tipikor yang dijelaskan di dalam pasal-pasal tersebut. Dasar –dasar dari tindak korupsi dikelompokkan menjadi tujuh yaitu : Kerugian keuangan negara,  suap-menyuap,penggelapan dalam jabatan,pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, gratifikasi. Bentuk-bentuk lain tertera pada UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 yang berisi tentang tindakan pidana yang berkaitan dengan tindakan korupsi, seperti merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi, tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka, saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu, orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu, saksi yang membuka identitas pelapor.
Dilihat dari segi historis, Indonesia mengalami masa kolonialisme dimana korupsi telah mengakar dari masa kerajaan hingga sekarang. Hal tersebut membuat pemberantasan korupsi sulit dilaksanakan karena telah mendarah daging sebagai kepribadian bangsa. Pada masa pra-kolonialisme, para penguasa lebih otoriter untuk memimpin suatu wilayah kerajaan yang dikuasainya sehingga rakyat tidak berdaya dalam melawan raja-raja, rakyat hanya diperintahkan untuk membayar upeti kepada raja-raja. Rakyat pun tidak berani untuk mengkritik dan melakukan pertentangan karena takut akan menimbulkan perlawanan dan diperlakukan dengan buruk. Rakyat lebih cenderung kepada sikap “nrimo”  dan cari perhatian kepada para raja untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari raja-raja. Budaya ini menyebar terutama di wilayah jawa. Budaya seperti ini memicu adanya akar dari suatu korupsi di negara Indonesia karena sistem yang diterapkan raja dengan menarik upeti kepada rakyat tidak transparan dan dapat menimbulkan penyelewengan dana. Akibatnya, rakyat semakin menderita dan wilayah kerajaan semakin makmur. Perlakuan raja tersebut juga didukung oleh adanya rakyat yang hanya dapat menerima apa adanya tanpa perlawanan dan perbaikan untuk raja dan sikap cari perhatian kepada raja untuk membahagiakan diri sendiri dan keluarga. Perilaku tersebut menyebabkan mental bangsa Indonesia menjadi malas, dan bergantung kepada orang lain sehingga mengambil jalan singkat menuju kebahagiaan. Mental tersebut dapat menjadi akar dari sebuah kata korupsi.
Budaya rakyat dan raja-raja  pada masa akhir kerajaan di Indonesia  diamati oleh kolonial yang ingin mengeruk harta kekayaan alam Indonesia, menyebarkan agama, dan mencari kekuasaan. Tujuan-tujuan tersebut dikenal dengan sebutan mencari 3G (Gold, Glory, dan Gospel).  Kasus peraturan culture stelseel yang dibuat oleh pihak Belanda sangat merugikan rakyat, padahal isi dari peraturan tersebut bertujuan untuk menyejahterkan rakyat, tapi dalam realitanya peraturan tersebut sebagai wadah untuk melaksanakan tujuan kolonialisme Belanda. Belanda juga membentuk VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) yang pada akhirnya hancur karena korupsi. Pegawai VOC banyak yang terlibat korupsi dan kasus tersebut dibuktikan dengan adanya pegawai tinggi VOC yang memiliki banyak rumah mewah di Indonesia dan di negri Belanda yang seharusnya tidak dapat dibiayai oleh gaji mereka. Mental para kolonial sebagai koruptor dapat ditiru oleh bangsa yang dijajah karena mengalami proses percampuran budaya Indonesia dan Belanda.
Pada Masa Orde Baru, korupsi menjadi suatu keterselubungan birokrasi pemerintah yang dimanipulasikan dengan kestabilan ekonomi rakyat. Dibalik kestabilan tersebut,Soeharto menyembunyikan korupsi politik yang dilakukannya, seperti membelit negara dengan hutang luar negri dan  elit politik yang menikmati kekuasaan Soeharto. Korupsi tersebut pun dipicu oleh adanya ketidaktransparansi anggaran pemerintah sehingga banyak peluang untuk melakukan praktik korupsi. Pada era-orde baru juga didukung oleh pemerintahan yang otoriter dan subversif. Otoritas jabatan Soeharto menjadikan kuasa politik tanpa batas. Keotoritasan itu pun berdampak kepada praktik korupsi politik. Perusahaan negara seperti Bulog,Pertamina Departemen Kehutanan sering dianggap sebagai sarang korupsi sehingga banyak sekali mahasiswa dan pelajar yang protes tentang permasalahan tersebut. Padahal pada saat itu pun ada Tim Pemberantasan Korupsi tapi kelompok tersebut menunjukkan ketidakseriusan dalam memberantas korupsi. Para elit pemerintahan pada masa ini dapat melakukan praktik korupsi dengan mudah
Pada Masa Era Reformasi, penyakit korupsi menjangkiti elemen penyelenggara negara. BJ Habibie yang pada awalnya aktif dalam memberantas korupsi, terlihat dari usahanya dalam mengeluarkan UU No.28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Presiden selanjutnya, Abdurrahmah Wahid nampak perannya dalam pemberantasan korupsi ketika membuat Tim Gabungan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) dan peran Megawati ketika membentuk suatu badan yang berdiri hingga sekarang masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang bernama KPK (Korupsi Pemeberantasan Korupsi). Namun, dari pembentukan badan dan pembuatan undang-undang tersebut masih saja belum menyelesaikan permasalahan korupsi.  Para elit politik dan penyelenggara negara masih melakukan praktik politik walaupun media massa sekarang pun banyak menyoroti pejabat-pejabat yang terkait dengan tindak pidana korupsi dan ketangkap basah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK) namun pengusutan tersangka korupsi yang melibatkan banyak pihak belum terselesaikan. Problematika itu dibelit-belit dan tampak seperti permainan politik pemerintahan. Misalnya dalam menangani kasus Gayus dan Bank Century. Kasus tersebut ditangani dengan lambat,  dan  kasus ini pun harus mengorbankan satu mentri Keuangan, Sri Mulyani. Kasus Gayus juga  belum terselesaikan hingga sekarang dan masih mencari tersangka yang terkait. Akhirnya,citra presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun jatuh.
Dari sejarah  yang dikaji, terlihat bahwa korupsi sudah menjadi budaya para aparatur negara Indonesia sehingga rakyat jengah melihat keadaan Indonesia yang semakin miskin karena ketidakmerataan alokasi dan distribusi SDA, infrastruktur pembangunan kurang memadai dan kekacauan permasalahan sosial dan politik Indonesia. Dampaknya, rakyat semakin apatis untuk memperhatikan peranan pemerintah dan pemerintah menjadi asumsi negatif di mata rakyat. Aparat pemerintah juga menjadi teladan bagi masyarakat Indonesia dimana korupsi juga menyebar luas di kalangan masyarakat. Masyarakat juga tidak ingin dibodohi terus-menerus oleh pemerintah sehingga mereka juga sering melakukan praktik korupsi, baik dalam skala besar maupun kecil. Contoh kasusnya terlihat pada kasus kecil dimana penilangan polisi dibayar memakai lembaran dua puluh ribu, daftar pekerjaan atau kuliah dengan menggunakan amplop, dan perilaku korupsi lainnya yang menimbulkan mental bangsa Indonesia menjadi mental korupsi dan mengakar menjadi budaya bangsa Indonesia.
Budaya merupakan suatu orientasi nilai-nilai yang menjadi acuan tindakan-tindakan para aktor politik. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga dipengaruhi oleh budaya politik pemerintahan. Latar belakang dari budaya itu sendiri dipengaruhi oleh agama,ras,etnik,adat,bahasa,dan lain sebagainya. Perbedaan budaya tersebut dapat menyebabkan  konflik antar para elit politik. Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem tersebut. Dari definisi diatas, korupsi juga dapat menjadi suatu budaya yang tertanam di Indonesia karena korupsi mempunyai orientasi yang bertujuan untuk memperoleh kekayaan dengan cara memperoleh kedudukan dalam pemerintahan.  Budaya tersebut juga tidak menyebar di dalam kalangan elit politik saja,  namun masyarakat Indonesia yang tidak paham dan mengabaikan pemahaman betapa pentingnya penghilangan praktik korupsi juga turut membantu jalannya korupsi walaupun kasus dominan yang sering terjadi di masyarakat masih berskala kecil. Dari praktik kecil korupsi itulah muncul bibit-bibit generasi para elit politik dengan kejahatan white collar crime.
Indonesia pada tahun 2005, menurut versi transparancy Internasional menempati urutan ke-36 negara tekorup.  IPK tersebut adalah persepsi korupsi di sektor publik pada 180 negara. Nilai IPK ini skalanya dari 0 sampai 10. Nol mengindikasikan persepsi terhadap korupsi yang tinggi. Sedangkan 10 mengindikasikan tingkat korupsi yang rendah. Pada 2006, IPK Indonesia adalah 2,4. Sedangkan IPK pada 2007 adalah 2,3. Penurunan indeks tersebut dapat disebabkan oleh masih banyaknya koruptor yang dibebaskan dari jeratan hukum. Misalnya, pada tahun 2007 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memvonis bebas Pontjo Sutowo dan Ali Mazi dari dakwaan korupsi perpanjangan hak guna bangunan Hotel Hilton, putusan Pengadilan Negeri Blora yang memvonis bebas Supito, terdakwa kasus korupsi pengadaan bantuan gubernur untuk air bersih senilai Rp 800 juta.Padahal negara tetangga kita, Malaysia, memiliki skor yang jauh lebih baik dari Indonesia yakni 5,1. Singapura memperoleh skor 9,3 untuk indeks persepsi korupsi. Pada tahun 2010, Angka Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2010 tetap 2,8 atau berada di peringkat ke-110 dari 178 negara yang disurvei. Nilai ini sama persis dengan tahun 2009 sehingga bisa dimaknai pemberantasan korupsi berada pada titik stagnan. Hal ini disebabkan oleh kurang berjalannya pemberantasan korupsi disebabkan sistem hukum dan politik di Indonesia masih korup. Anggota DPR, DPRD, dan pemilu kepala daerah harus mengeluarkan banyak uang pada saat kampanye pemilu. Praktik money politics sering terjadi di Indonesia sehingga menimbulkan kekacauan dan masalah kecurangan dalam pemilu.
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa korupsi dapat menjadi suatu budaya di Indonesia karena dilihat dari segi historis, praktik tersebut diterapkan secara turun-temurun dan sulit diberantas apabila tidak dilakukan dengan kesadaran untuk merubah jati diri bangsa Indonesia. Perubahan nilai-nilai tersebut harus dimulai dari otak penggerak negara, yaitu aparat penyelenggara negara. Apabila aparat penyelenggara negara mempunyai pemikiran menjalankan pemerintahan mendahului kepentingan bangsa dan negara dibandingkan kepentingan partai politik dan kepentingan individu, maka stabilitas pembangunan Indonesia yang sedang berkembang, infrastruktur negara pun masa manfaatnya lebih panjang, dan kesejahteraan sumber daya manusia tercapai karena alokasi dan distribusi dibagikan secara merata.
Indonesia juga dapat mencontoh negara-negara maju tentang bagaimana cara pemberantasan korupsi yang tepat untuk mengintegrasikan pembangunan bangsa Indonesia. Seperti Singapura, Hongkong, Denmark, New Zealand, dan negara tetangga sendiri yaitu Malaysia. Indonesia dapat melihat dan mencontoh hongkong yang menjadikan zero tolerance sebagai prinsip utama dalam pemberantasan korupsi. Karakteristik orang Indonesia yang penuh toleransi pun mendukung timbulnya bibit-bibit korupsi sehingga penegakan hukum tidak berjalan secara maksimal. Penegak hukum dan lembaga pemberantas korupsi harus bersikap tidak toleransi dengan orang yang telah melanggar korupsi, baik itu korupsi yang dilakukan oleh pegawai rendah atau pejabat besar.
Indonesia yang mempunyai sumber alam dan minyak tambang yang berlimpah, seharusnya mempunyai sumber daya manusia yang berkualitas tinggi untuk mengelola SDA yang telah ada. Namun, sebaliknya kemajuan negara Indonesia telah diambil oleh koruptor yang bermental para pencuri dan mempunyai integritas rendah. Indriyanto Seno Adji, ahli hukum pidana Universitas Indonesia, mengatakan bahwa sejak Orde Lama sampai era reformasi, integritas dan mentalitas suap para pejabat negara tidak berubah. Ketaatan regulasi dianggap lebih rendah dengan tradisi upeti kepada pejabat negara. Ini semua yang disebut institusionalized corruption yang merajalela (Kompas,28/04/2011). Maka dari itu, pemerintah, DPR, dan penegak hukum seharusnya bersama-sama menerapkan suatu paradigma pemberantasan korupsi. Paradigma tersebut tidak hanya dalam bentuk prosedural dimana struktur pemerintah yang hanya melengkapi fungsional personal dalam pemberantasan hukum, seperti menyediakan penyidik, penuntut, dan pengadilan khusus. Tapi elemen tersebut seharusnya dilingkupi dengan rasa keadilan, sanksi moral yang kuat, memperbaiki sistem-sistem pemerintah yang rentan dengan praktik korupsi. Langkah awal yang harus dijalankan pemerintah dengan dilaksanakannya perubahan paradigma bangsa dalam pemberantasan korupsi dan perbaikan moral pemerintah dengan integritas yang tinggi.

0 komentar:

Posting Komentar