Berbicara mengenai Thailand, masalah kudeta militer dan rezim junta militer
sangatlah kental dalam perpolitikan di Thailand. Tak heran jika proses
demokratisasi disana mengalami hambatan dan tantangan menuju sistem demokrasi
yang sesungguhnya. Tentunya dinamika ini tak lepas juga dari budaya politik
masyarakat Thai yang masih bersandar dan berpegang pada nilai-nilai
tradisional, sementara dalam demokrasi membutuhkan nilai-nilai kontemporer yang
mengacu pada budaya Barat. Hal inilah yang kemudian berimplikasi pada pembentukan
state-building dan konstitusi yang mengatur distribusi kekuasaan politik
Thailand dimana selalu diwarnai oleh perebutan dan persaingan antara elit
militer, sipil, dan cendekiawan.
Nilai paternalisme dan patriakal dalam budaya Thai masih melekat erat,
dimana mereka menganggap raja sebagai “father” dalam mengarahkan
masyarakat ke arah yang lebih baik. Selain itu, raja dianggap sebagai
perwakilan Wisnu, Siwa, dan Budhisattava yang merupakan titisan dewa. Sehingga
tak heran bila masyarakat Thai lebih mencintai raja daripada politik. Segala
tindak raja merupakan pengejahwantahan dewa yang harus dipatuhi. Hal ini
kemudian bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang dilandaskan pada
nilai-nilai liberal. Nilai-nilai tersebut tidak hanya bertentangan tapi nilai
tradisional tersebut teatap dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Thai. Akibatnya, budaya politik dan derajat partisipasi masyarakat Thailand
sangat pasif. Padahal untuk membangun sistem demokrasi diperlukan budaya dan
derajat partisipasi politik yang signifikan, yaitu sebuah budaya politik
partisipan dan subjek (Almond). Implikasinya adalah, dengan kepasifan politik
masyarakat Thailand, maka perebutan kekuasaan antara militer, sipil, dan
cendekiawan selalu terjadi dan ini menjadi salah satu problem lain dalam
demokrasi di Thailand. Elit militer merasa dirinya memiliki kapabilitas dan
kapasitas dalam menjalakan pemerintahan dan negara karena latarbelakang
pendidikan akademi militer dapat membuat mereka berpikir strategis dan taktis
yang memang diperlukan oleh pertahanan dan keamanan negara. Selain itu, secara
historis mereka menganggap dirinya berjasa atas pertahanan dan keamanan
Thailand dari kekuatan eksternal baik pada zaman monarki maupun saat revolusi.
Di pihak lain, sipil menganggap bahwa masalah politik merupakan wilayah sipil
yang harus lepas dari campur tangan militer. Mereka cenderung mendukung
profesionalisme militer daripada fungsi militer di ranah politik. Anggapan
mereka bahwa campur tangan militer dapat menghambat proses politik dan
demokrasi. Menurut Sundhaussen (1999) bahwa kebiasaan militer cenderung
anti-demokrasi. Lanjutnya bahwa persepsi tentang lawan dan bagaimana berurusan
dengan mereka sering kali menggiring rezim militer memperlakukan lawan politik
lebih keras dari sepatutnya sehingga merintangi penyelesaian politik.
Sementara, pihak cendekiawan menganggap bahwa dalam menjalankan pemerintahan
dan negara diperlukan sebuah kerangka berpikir dan ilmu mengenai pemerintahan
dan politik dimana hanya kaum cendekiawan itulah yang bisa melakukan. Dengan
pondasi pengetahuan dan ilmu yang yang mereka miliki tersebut mereka menganggap
bisa menjalankan dan selalu menemukan penyelesaian masalah dalam menghadapi
krisis.
Perselisihan dan persaingan politik tersebut pada hakikatnya tak membawa
masyarakat Thailand pada kondisi riot seperti di Filipina ataupun
Myanmar. Karena peran Raja tetap eksis sebagai simbol zaman keemasan Thailand
dan sebagai pengayom masyarakat Thai. Setidaknya pandangan tersebut menjadikan
masyarakat Thai sebagai masyarakat yang “tentram” tanpa ada pertumpahan darah
sebagai akibat persaingan kaum elit tersebut.
Secara garis besar,
ada beberapa karakteristik budaya politik Thailand, yaitu:
- Otoritarianisme => budaya politik yang ada di Thailand cenderung mengarah pada otoritarianisme dimana kepemimpinan dipandang sebagai representasi dari dewa sehingga pelaksanaan perintah nyaris tanpa celah untuk dikritisi. Terlebih ini didukung dengan budaya patriakal dan paternalistik yang cenderung mengagungkan pemimpin sebagai “father” dalam keluarga yang punya wewenang dan kekuasaan atas keluarganya.
- Patron Klien => kaum elit lebih mengedepankan kepentingan kelompoknya sendiri dari pada kepentingan untuk melayani rakyat. Sehingga karakter elit lebih pada “tuan yang diagungkan” dari pada “servant of people”. Hal ini berdampak pada hubungan antar elit atas kelompoknya lebih kuat daripada dengan rakyat.
- Personalisme => hubungan personal lebih penting dalam politik Thailand. Begitu pula fungsi seorang tokoh akan sangat menentukan garis kebijakan politik karena orang Thailand yang pragmatis lebih melihat figur tokoh daripda ideologi ataupun latarbelakang partai.
- Hirarkis => orang Thailand lebih mementingkan tingkatan status daripada pencapaian seseorang. Senioritas, strata sosial, kekayaan, menjadi faktor utama daripada prestasi seseorang. Hal ini kemudian yang mengarahkan masyarakat Thailand pada masyarakat yang unequal.
- Tradisionalisme => masyarakat Thailand masih memegang kuat kepercayaan mistis dan tahayul serta kepercayaan pada nenek moyang. Hal ini membuat irasionalitas menjadi hal yang umum terjadi dalam menghadapi kehidupan (sifat konservatif).
- Pasivitas => sifat tradisional dan percaya pada adanya hirarki serta takdir membuat masyarakat Thailand menjadi pasif dan tidak memiliki interest terhadap proses dan partisipasi politik.
- Cinta Damai => hal ini tak lepas dari pengaruh agama Budha yang dianut orang Thailand yang mengajarkan ajara-ajaran cinta dan damai. Sehingga mereka lebih memilih untuk mengalah dalam rangka mencapai kedamaian bersama aripada konfrontasi yang berdampak pada ketidakdamaian. Sehingga tak heran manakala terjadi kudeta militer tidak sampai terjadi peristiwa berdarah. Karena selain peran Raja yang berpengaruh terhadap legitimasi kudeta tersebut, peran agama Budha yang cinta damai juga tak kalah pengaruhnya terhadap way of life masyarakat Thai.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat dilihat bahwa demokrasi yang ada
di Thailand akan selalu mengalami dan menghadapi two face of dillema dan
binarry opposition, yaitu di satu sisi nilai demokrasi berusaha diterapkan
dan dijalankan dengan sepenuh hati namun disisi lain ada nilai-nilai
tradisional yang berberturan dengan paham demokrasi. Terlebih hal itu
diperparah dengan persaingan politik antara kaum elit yang ada. Jadi, proses
transisi menuju Demokrasi yang sesungguhnya sesuai dengan nilai-nilai
liberalisme sangat panjang dan berliku yang musti dihadapi oleh Thailand.
Tentunya untuk menerapkan sebuah rezim demokrasi di Thailand butuh waktu
yang panjang dan proses adaptasi yang memakan biaya-sosial yang tinggi manakala
nilai-nilai liberalisme Barat harus menjadi nilai utama dalam tranformasi
sosial menuju demokrasi sesungguhnya. Hal ini diperlukan karena, demokrasi
tidak akan bisa diterapkan tanpa menerapkan nilai-nilai Barat yang memang
merupakan pondasi utama bagi kemajuan demokrasi suatu negara. Permasalahan yang
muncul adalah apakah masyarakat bisa menerima dengan begitu saja sebuah nilai
yang bukan merupakan nilai yang berasal dari budaya setempat? Tentunya antara
ya dan tidak. Ya, jika mereka telah merubah tatanan nilai dan norma sesuai
dengan nilai Barat. Tidak, jika mereka menganggap bahwa nilai tradisional
mereka merupakan nilai yang tidak dapat dihilangkan dan ditinggalkan begitu
saja karena telah mengakar kuat dalam akar budaya dan sistem kepercayaan
mereka. Bagi masyarakat Thai, hal tersebut cenderung pada Tidak, karena
nilai-nilai yang mereka miliki meruupakan nilai warisan nenek moyang dan
merupakan hal yang sakral apabila ditinggalkan. Terlebih, akar budaya agama
Budha sangatlah kental dalam membentuk karakter masyarakat Thai. Tak heran jika
budaya politik mereka adalah Parokial, dicirikan dengan rendahnya pengetahuan
dan kesadaran politik, dan Subjek, dicirikan kepatuhan pada pejabat-pejabat
pemerintahan dan hukum yang berlaku.
0 komentar:
Posting Komentar